6 Hal Yang Harus Jadi Pertimbangan Setelah Married |
Pernah nggak saat poop, atau nunggu antrian, atau menjelang tidur sistah-sistah sekalian ngebayangin, apa aja yang sistah sekalian inginkan menjelang, atau bahkan saat hari pernikahan?
Mengingat, menikah itu nggak sehari, dua hari lho sist. Itu bisa saja berlangsing seumur hidup lho!
Nah, sistah sekalian udah berencana menyiapkan apa aja, nih??
Nah, berdasarkan omong sana sini, dan cari mata air dari sumur timba, sumur bor, sumur-sumur mulut, nih ane kasih 6 Hal Yang Harus Jadi Pertimbangan Setelah Married.
1. Komunikasi
Yah, kita gabisa bohong sih, komunikasi tuh hal penting. Kebayang nggak, kita
ngomong make bahasa manusia, pasangan ngomong make bahasa "G", mumet
nggak?
Yah, komunikasi ini nggak cuma bahasa aja sis. Tapi juga cara kita membicarakan
masalah, atau hal-hal seputar perumah tanggaan kita sis. Misalnya, sistah
sekalian lebih nyaman membahas masalah rumah tangga saat sedang panas-panasnya,
jadi sekalian hajar sampai habis. Tapi pasangan malah lebih senang membicarakan
sesuatu saat sudah mulai dingin. Hal semacam ini juga harus dibicarakan.
Apalagi kalau sistah tim "Kalo Udah Dibaca, Harus Dibales!",
hal seremeh itu juga perlu dibicarain.
2. Kesempatan Pendidikan
Nah, nggak sedikit perempuan yang menikah muda, menikah setelah wisuda sarjana
(S1), magister (S2), vokasi (D3), dan semacamnya. Lalu sistah kepengen
ngelanjutin pendidikan lagi nih, ke jenjang berikutnya, misal S1 ke S2, D3 ke
S1 ekstensi, S2 ke S3, atau bahkan SMA ke S1. Menurut ane sih, sah-sah aja
kalau mau sekolah lagi setelah merit, cuma berkaitan dengan poin pertama, hal
ini perlu dikomunikasikan. Atau bahkan perlu dibuat kesepakatan atau
perjanjian.
Yah, berlebihan sih kalau sampai disebut sebagai perjanjian. Cuma hal ini perlu
dilakukan, supaya sista bisa memperhitungkan, kapan waktu yang tepat memiliki
anak, mengurus anak, mengurus rumah tangga, atau kembali melanjutkan
pendidikan.
3. Kesempatan Kembali Bekerja
Sist, nggak sedikit lho perempuan diluar sana yang memutuskan berhenti bekerja
sesaat supaya bisa mengurus rumah tangganya. Dan setelah anak-anaknya berusia
tertentu, mereka akan kembali bekerja. Entah untuk alasan finansial, atau
mungkin memang memiliki jiwa pekerja.
Sama persis seperti poin kedua, hal ini perlu dikomunikasikan dengan pasangan
sist. Dan nggak buruk kan, punya penghasilan sendiri untuk kebahagiaan diri
sendiri dan keluarga?
Apalagi, mungkin sistah-sistah diluar sana masih memiliki keluarga untuk
dibiayai, dan tidak enak hati dengan pasangan untuk meminta bantuan finansial.
Untuk semua alasan itu, kembali bekerja setelah menikah, sepertinya nggak buruk
kok sist.
4. Harta, dan Tabungan
Kalo udah bahas kerjaan, otomatis ada penghasilan. Kalau udah berpenghasilan so
pasti sistah sekalian punya tabungan dongsss...
Nah, ini dia nih, topik yang bikin rumah tangga kadang kala jadi panas meski
udah make AC 1000 PK sekalipun.
Beberapa pasangan, memutuskan menikah dengan membawa sisa tabungan mereka
(ceritanya udah kepake nih, buat tabungan acara wedding dll), atau bahkan
tangan kosong (jadi pas wedding all out, jadi gak ada tabungan kesisa).
Berkaitan dengan poin 3, tentang bekerja, pembagian komitmen tabungan dan harta
ini penting lho.
Bukannya untuk persiapan cerai, tapi supaya menghindari kesalahan manajemen
keuangan.
Kenapa gitu?
1. Suami masih punya keluarga. Mungkin orang tua, kakak, adik, dan lainnya.
2. Kita juga masih punya tanggung jawab sama keluarga gan. Menikah bukan
berarti kita udah berhenti memberi sama keluarga lho...
3. Persiapan membeli atau kredit rumah, persiapan punya anak, dan rencana
pernikahan lainnya.
Kebayang nggak sis, in case suami nggak ada tabungan uang, trus kita melahirkan?
Meski banyak jaminan kesehatan, tapi bukan berarti kita santuy-santuy aje nih
bosque waktu hamil.
Dan lagi, kalau suami belum gajian, dan ada keperluan mendesak, kita bisa bantu
tutupi dengan tabungan kita dulu lhooo...
Atau, pembagian sistem pengeluaran dan pemasukan.
1. Penghasilan suami untuk kebutuhan rumah (listrik, air, cicilan, biaya pendidikan anak)
2. Penghasilan istri untuk kebutuhan rumah tangga (makan, sabun, atau kebutuhan utilitas harian, jajan anak, serta biaya tak terduga).
Sistem sebaliknya juga berlaku lhooo...
5. Rencana Memiliki Anak
Selain harta, topik satu ini lumayan ganas kalau disinggung dalam rumah tangga.
Kita nggak bisa bohong, ada beberapa orang yang dengan giat berusaha
mendapatkan anak tapi tetap belum mendapatkan, ada yang dengan mudah bisa
mendapatkan momongan, ada juga yang memang merencanakan sejak awal untuk tidak
memiliki keturunan.
Nah, berhubung pernikahan selain menyatukan dua keluarga, tapi juga menyatukan
dua jalan pikiran menjadi perempatan pikiran. Berhubung perempatan kita butuh
titik temu nih sist. Kebayang nggak, setelah menikah, sistah yang memutuskan
menunda kehamilan, tapi agan yang menjadi suami sistah ngotot punya anak
secepatnya. Atau sebaliknya, atau mungkin keduanya sudah sepakat sepemikiran
untuk menunda atau mempercepat kehadiran momongan.
Ane pribadi sih merasa idealnya pasutri baru, itu memiliki momongan setelah 2-3
tahun pernikahan. In case memang harus terjadi perceraian, maka tidak ada anak
yang menjadi korban karena tindakan orang tuanya. Meski nggak sedikit orang tua
yang bercerai yang berhasil mendidik anak mereka, tapi banyak juga anak-anak
yang merasa tidak bahagia karena keputusan kedua orang tuanya ini.
Masa reses 2-3 tahun itu juga bisa digunakan untuk menyesuaikan pemikiran,
rencana keuangan, cara membicarakan masalah. Yah, meski mungkin ada banyak
pasangan yang menikah setelah menginvestasikan waktu untuk berpacaran, atau
prosesi pengenalan pasangan satu sama lain, kehidupan berpacaran tentu tidak
sama seperti pernikahan. Iya, apa iya nih sistah?
Dan dalam pembicaraan tentang anak ini, sistah harus proaktif. Biar
bagaimanapun sistah memiliki kemungkinan untuk mengandung, dan melahirkan
beserta lusinan resiko yang akan sistah tanggung. Jadi sebagian besar pendapat
sistah harus dipertimbangkan oleh pasangan!
6. Perjanjian Pra-Nikah
Ini nggak 100% wajib sistah pertimbangkan. Dan perjanjian ini nggak 100%
bersifat mengikat secara hukum, tapi mengikat selama para agan dan sistah
terikat sebagai suami istri.
Singkatnya ini hanya kesepakatan tertentu antara kedua belah pihak suami istri.
Misalnya, sistah mau tidur make AC, tapi bebeb maunya pake kipas angin. Maka
dibuatlah kesepakatan ini. Jadinya kalian tidur dengan blower AC, ada kipas,
tapi ada unsur AC nya juga.
Posting Komentar